Nurani vs Nilai

2/17/2012 11:30:00 PM

Wooooy! Capek ngga sih?  Lo udah ngerjain 31 soal essai dengan semangat ’45 tapi malah begitu jadinya...... LL

Ya! Hari itu jam biologi di jam pertama setelah upacara yang rasanya panjang sekali.  Di akhir pelajaran yang kebetulan praktikum itu, gue dan tepatnya sekelas gue dapat soal LDS yang sampai sekarang ngga gue tau singkatan dari apa?

Bukan itu masalahnya....  selembar kertas itu walaupun isinya 31 soal essai tetap gue terima dengan ikhlas dan tanpa perasaan suudzon.  Mengingat hari itu gue ada bimbel di salah satu tempat bimbel *iyalah* sepulang sekolah dan gue juga ada tugas remedial matematika,  gue berpikir bagaimana gue ngerjain PR-PR tersebut?  Akhirnya gue memutuskan untuk agak lembur di sekolah nunggu jam 5 buat bimbel sambil ngerjain soal essai biologi tersebut.

Setelah kira-kira menyelesaikan 15 soal, jam sudah menunjukan pukul 4 lebih, gue yang mulai lapar(lagi) memutuskan ke kantin untuk membeli makanan seadanya, cuma ada 1 stand yang masih buka.  Gue akhirnya memesan omelete atau biasa disebut telor dadar -____-“

Saat gue sedang melahap beberapa sendok, tiba-tiba hujan turun dengan amat sangat deras sekali.  Kantin yang beratapkan asbes membuat gue dan seorang teman gue merasa bagaikan pasukan gajah yang diserang burung Ababil sambil dilemparin kerikil. 

“Ohh tidak! Gimana nih Mal?”
“Yaudah, abis ini kita sholat ashar dulu terus berdoa supaya ujannya reda.”
Setelah beres makan, gue dan teman ke mushola sekolah.  Singkat cerita kami pun sholat, mungkin karena mengikuti omongan gue atau inisiatif sendiri, di sujud terakhir sholatnya temen gue sumpah itu sujudnya lama abis Ha Ha Ha Ha gue yang biasanya selesai sholat ngga dzikir, sambil nunggu dia beres sujud gue sampai beres juga dzikir 33 kali subhanallah, aalhamdullilah dan allahu akbar.  

Ternyata sujud temen gue dan dzikir gue ngga sia-sia.  Bokap akhirnya telpon gue, nanya gue lagi dimana?  Setelah percakapan singkat di telpon akhirnya gue bakal di jemput.  Si temen gue itu pun nebeng sampai tempat kursus bahasa Jepangnya dan gue pun di drop  di tempat bimbel.

Pukul 8 tepatnya gue pulang dan buru-buru harus lembur demi besok, berhubung ngantuk berat akhirnya tersisa 5 nomor untuk essai biologi dan gue jadi ngga nonton Grammy Awards  sampai selesai.
Kenyataan pahit esoknya di sekolah adalah belum sampai ke kelas segelintir teman-teman bertemu gue di tangga menuju kelas.

“Mau kemana lo?”
“Foto copy bio.”
“Lo belum dapet soal?”
“Ini jawaban. Lo mau?”
“Hah?”, dengan bingung akhirnya gue jawab, “iya deh.”
Ternyata ada sekelompok anak-anak high tech di kelas gue yang ngerjain tugas itu bareng-bareng online via facebook. Mereka ngerjain tugas secara soft copy kemudian di print.  Itulah kemudian hampir setengah dari kelas gue, tanpa bersusah payah mendapat nilai jauh di atas kkmL

Lebih pahitnya tugas tersebut di koreksi bareng yang artinya di koreksi oleh teman-teman kita sendiri dan ketika melaporkannya nilai, entahlah mungkin ini suudzon atau kenyataan, nilai 90 pun bergelimpangan, karena nyatanya nilai maksimal dari copyan jawaban tersebut hanya kalo tidak salah 88.

Gue dan beberapa teman yang mendapat nilai di bawah nilai di atas, kemudian dikatakan  ‘tidak gaul’ oleh guru biologi tersebut. What the.......

Setelah berusaha mencari kesalahan sang pengoreksi akhirnya nilai gue pun diralat HAHAHA yipee!


Ini mungkin salah satu kisah dari ribuan bahkan jutaan pelajar di negeri ini.  Kisah pelajar yang dongkol atau yang bergelut antara hati nurani dan tujuan untuk medapat ‘nilai’ setinggi mungkin.

“Sekolah itu bukan nyari nilai tapi nyari ilmu.”
Gue masih inget salah satu perkataan guru gue tersebut.  Menurut gue ya itulah tujuan sekolah,  bahkan menurut gue remedial itu wajar dan amat manusiawi.  Namanya juga pelajar yang sedang belajar.  Definisi belajar pun mencari ilmu, namun itu terdengar cukup klasik.  Kenyataannya semua hal yang menjadi tolak ukurnya adalah nilai.  Bahkan kualitas menjadi sesuatu yang tidak dipandang dibandingkan dengan kuantitas.  Kuantitas akan selalu mejadi indikator dalam kualitas.

Menurut gue yang sudah hampir 11 tahun mengenyam pendidikan yang bernama sekolah.  Nilai lah yang selalu menjadi dasar dari segalanya.  Dari mulai latihan, ulangan, rapot, ijazah, tes psb, snmptn dan yang lain-lain.  Hal itu memang wajar dibenarkan, namun untuk saat ini nilai yang ‘murni’ adanya, sudah sangat sulit ditemukan, bagaikan mencari jerami ditumpukan jarum. 

Karena prinsip kuantitas dasar dari kualitas dalam sekolah, semua pelajar pun akhirnya berpikir mencari segala cara untuk mendapat nilai terbaik dengan cara dan jalan termudah. Berbagai macam cara tentunya sudah diketahui oleh seluruh elemen masyarakat yang pernah merasakan sekolah, dari zaman nenek moyang kita hingga yang termodern pun tersedia.  Halal dan haramnya cara tersebut  yang menjadi masalah, cara-cara yang haram tentunya lebih berkesan ‘menarik’ bila dibanding dengan cara halal yang terkesan membosankan dan harus penuh kerja keras.

Pahitnya di beberapa sisi, kerja keras kini sudah tidak harganya.  Beberapa kasus yang gue pernah alami belajar sampai jungkir balik dari pagi ke pagi demi ulangan sering saja terasa sia-sia ketika mereka-mereka mendapat bocoran soal atau tinggal menyalin dengan siasat ‘OB’, tugas dan PR yang dengan semangat ’45 dikerjakan hanya akan mendapat paraf dari beliau-beliau tanpa melihat isi yang mungkin terkesan jadi sok ngartis, mencatat dan menghafal materi yang diberikan beliau saat ulangan yang di tes jauh melenceng dari catatan yang ada, mengerjakan ulangan dengan jujur selalu kalah dengan mereka yang tetap kompak bersama-sam saat ulangan,  dan banyak lagi kepahitan yang gue alami sebagai seorang pelajar.
“Yang penting adalah prose bukan hasil.”
Itu pula suatu kata bermakna yang masih gue simpan dari seorang guru juga. Kenyataan kelam juga banyak terjadi sebagai penentu hasil bagaimana bisa beliau-beliau tersebut ‘selalu’ mengetahui proses apa yang kita gunakan untuk mendapat hasil tersebut.  Selama yang gue tau, remedial yaa tetap remedial, ngga lulus ya tetap ngga lulus tanpa peduli bagaimana kita melalui semua ujiannya. Adakah dispensasi untuk seseorang yang  jujur saat ulangan?  Tentu hal itu membuat prinsip ‘nyontek adalah halal asal tidak ketahuan’ menjadi pendirian banyak pelajar.  Yang gue tahu juga beliau-beliau tetap manusia biasa yang tidak bisa berlaku selalu adil, dan yang gue yakini Tuhan lah yang akan mengadili.

Pergelutan antara hati nurani dan kenyataan untuk meraih nilai setinggi-tingginya bukan nilai sebaik-baiknya menjadi sesuatu yang kadang menyakitkan.  Karena nilai sebaik-baiknya adalah berapapun nilai tersebut dengan proses yang baik dan pasti akan berdampak baik kelak.

Apakah gue sudah sepenuhnya menjadi pelajar yang mempunya nilai baik?
well, gue rasa sih masih jauh dari kata sudah, tapi gue lagi berusaha kok J
                See ya

You Might Also Like

0 komentar

Cari Blog Ini