Sepiring Nasi Preksu Malam itu
1/06/2017 01:48:00 AMKepada sepiring nasi-preksu malam itu
Kau jatuhkan pedih dalam desah pedas dari cabai-cabai itu
Sesekali kau mengerjap, tuk menahannya
15 menit kemudian, tandas sudah setengah porsi. Ingin mengurangi porsi, sahutnya, sesuai saran dari ahli gizi favoritnya [aku].
Senyumnya terasa getir, setelah beberapa tegukan pereda pedas--pedih--cabai.
"Lagi banyak tugas ya?", tanyanya mengalihkan ke tumpukan modul oranye milikku.
Tatap kita pun bertemu, sama-sama mengiba. Hening, tenggelam dalam penat masing-masing.
Kamu kembali sibuk mengalihkan, mencoba memahami paragraf-paragraf studi kasus Diabetes.
Beberapa celoteh receh pun terlontar, sesekali kutanggapi walau kutahu banyak yang kau tutupi
Menit-menit sunyi berlalu. Pedas dari cabai-cabai mulai terabai.
"Kamu kenapa?"
Kepada sepiring nasi-preksu malam itu
Terima kasih telah menjadi saksi bisu
"Mimpi dan ambisi fungsinya engga begini", di desir angin malam itu aku menyesatkanmu, mencoba menenangkan sambil memutar balikkan keadaan.
Ini soal mimpi dan ambisi yang durhaka pada sang empunya lalu tumbuh jadi bumerang pilu
Ia lupa akan proses, ia mengkhianati waktu-waktu yang berlalu
"Tanpa Senja udah terbit, skripsinya tetap jalan. Sementara Aku?", pedih dan risau pun dikeluarkannya.
Dalam hati Ku maki, dalam khayal Ku tampar, dirimu. Kamu. Sementara Aku.
Bergeming, Aku yang tak makan malam itu, mengunyah jeda.
Menemukan beda.
'Sementara aku', melayang di antara dinding dan pagar beranda rumahku.
Karena sisa nasi-preksu malam itu, telah kau kemas dalam plastik dan kertas.
Nasi-preksu malam itu, terkhususkan untukmu. Beralaskan melamin oranye, bertemankan denyit karat di beranda.
Aku dan kamu menemukan beda.
....
Beratus hari tiba-tiba Ku maknai.
Kita jelas tak pernah ada di mimpiku maupun mimpimu. Tak'kan pernah ada, karena berbeda.
Ini bukan tentang beda dasar hidup kita yang semua orang risaukan, yang semua orang perdebatkan.
Kita (aku dan kamu) adalah semacam titik air yang turun ke bumi setelah terkondensasi kemudian disebut-sebut sebagai hujan.
Maksudku, Kita adalah proses. Hahahaha begitu singkatnya.
Jika ada tanya, 'sementara aku?'
Aku adalah orang tak punya ambisi, aku hidup menjalani proses tak pernah muluk-muluk soal mimpi.
Dan 'sementara aku' yang milikmu itu,
manusia penuh ego, setiap langkahmu terisi ambisi, detikmu adalah pacuan.
Jika hujan turun, aku akan melambatkan langkah tersenyum menikmati tetesnya. Lalu kamu memacu derap atau melipir memohon konspirasi supaya reda
Kamu tak mau kebasahan karena curiga akan kena flu
Aku rela basah, tak peduli soal nanti flu atau bahkan demam
Begitulah adanya kita. Aku yang sedang menikmati proses, kamu sudah memacu langkah, pergi.
Mau dikata apa, Aku ditinggalkan :)
"banyak yang harus dikejar, banyak juga yang harus dikorbankan", katamu
termenungku dalam setiap kata-kata terakhirmu, pada rintik hujan malam ini sampai kepada sepiring nasi-preksu malam itu.
---Kuharap sepiring nasi-preksu dan dua kali dekap hangatmu malam itu, semoga jadi bagian proses dalam kelak tercapainya mimpimu.
Iya, Aku ingin pamrih. Tunggu saja, mungkin suatu saat akan Ku tagih :)----
@amalinair
0 komentar