Pertimbangan

12/19/2014 11:37:00 AM




Here I am again!

Masih seperti ini dengan segala kebobrokan hari-hari, di Minggu tenang. H-2 menuju UAS semester ganjil (lagi). Tidak terlalu excited atau merasa ‘ngambis’ buat menjalani dan mencapai penetuan akhir di semester ini. Aku—kurang motivasi—mungkin. Memikirkan liburan semester pun tidak begitu antusias untuk dibayangkan, tiket kepulangan sudah di tangan. Yap, hari-hari di sini semakin lama semakin melekat di diri. Bukan. Bukan aku yang menjadi sudah—amat sangat—cinta sama tanah perantauan—yang hanya berjarak 500an km—ini. Aku banyak mempertimbangkan hal-hal lain.

Seperti pagi ini ketika aku terbangun di sebuah kamar kostan seorang teman, setelah menghabisakan jam-jam malam penuh kegilaan—minggu tenang belum belajar sama sekali, kabur dari kenyataan, ya cuma dia, seorang teman yang bisa membuat aku tetap menjadi aku, di atas semua kepalsuan yang kuhabiskan akhir-akhir ini—banyak hal yang aku anggap bodoh dan sampah ternyata memang perlu diresapi. Sudah terlalu lama aku tidak berbicara pada diriku sendiri, seperti di detik ini. Ya, kembali pada kata-kataku yang dipaksa bijak, “karena psikologi terbaik adalah dirimu sendiri”. Bolehkah aku beralibi, berhari-hari aku tak nafsu menyentuh materi karena mungkin akhir-akhir ini aku merindukan diri aku sendiri, untuk sekadar berdiskusi dengan batin dan pikiran, menyelaraskannya kembali, agar sisa-sisa kebobrokan hari-hariku ini sedikit terbenahi.

Semua terasa berbeda semakin lama semakin menjadi. Mungkin aku sudah menikmati dan terbiasa. Terbiasa dengan hari-hari yang terasa penuh hingar, jadwal padat, beban tanggung jawab menderu, ya mungkin saat itu aku tengah berada dalam fase “ah sepi ini menyiksa”. Lantas apakah semua berjalan sesuai harapan? Tidak juga. Aku tetap terdiam bermain dan bercakap di dalam pikiran, tetap saja sepi.

Keputusan-keputusan yang kemarin aku tentukan mungkin juga saat berada dalam fase, “ah I wanna be something!”. Kemudian sederet tanggung jawab—yang lebih banyak minusnya—kudapatkan. Mulai dari ‘dibuang’ dalam sebuah bidang yang sama sekali tak terbayakngkan sebelumnya, hingga tersadar sekarang aku adalah sang kemudinya. Kemudian menjadi tim dalam biro media dan informasi yang kurasa semuanya terlalu dipaksakan, hingga hidup mati atau mungkin bisa kusebut mati surinya sebuah kelompok, aku berada di dalamnya. Lalu bertemukah dengan apa yang ku cari? Semu kurasa.

Aku tetap menjadi semu di sana-sini, ha ha ha ha setelah semua perputaran kehidupan yang kudapati, setelah semua hingar, padat nan menderunya hari, aku kembali pada fase “the invisible”. Lelah rasanya batin ini hampa tak kudapat apa-apa. APA sebenarnya yang ku cari dan ingin ku dapat? Semu, ya karena aku dalam diriku semu, abu-abu.

Aku kembali sedang mengiba meminta manja pada sang semesta. Aku lelah mencari-cari makna dari konspirasi-konspirasinya. Ketika ia berikanku, percikan pada detik-detiknya, lalu semua begitu cepat berlalu tanpa sempat ku mencari makna. 

Kemana makhluk sang semesta yang kerap menghiasi dalam konspirasi? Kemana mereka yang kerap melukiskan warna pada si abu-abu ini?

Karena aku menyukai Jingga. Jingga adalah warna yang tak pernah mengarogansikan diri. Jingga memadukan merah dan kuning. Maka janganlah kau hilang, karena kaulah merah sementara aku kuning yang ‘kan segera memudar, semu jadi abu-abu.

Banyak. Aku mempertimbangkan banyak hal.

Sederetan menu baru dalam kehidupan di tanah yang jauh dari rumah ini mencipta banyak pertimbangan. Ketika hampir dua tahun ku menjalaninya, tetap saja rasanya seperti mati. Mati dalam sebuah keantusiasan yang fana. Boleh jadi dunia ini memang fana, buat apa memaksa mencari-mencari yang dapat menghidupkan jiwa.

Untung saja ku masih hidup di sisi-sisi lain. Konspirasi semesta yang kerap menghidupkan jiwa yang minus motivasi ini.  Hampir dua tahun disini aku mengkerucutkan mereka, mereka yang mengisi konpirasi milik semesta. Aku dianugerahi sekelompok manusia-manusia yang luar biasa menerima dengan dewasa keminusanku, 67 kepala—ya kali ini aku menggeneralisasikan semuanya—ajaib, yang terkuat menghadapi hari selalu membumi.

Sementara seorang makhluk yang melukiskan warna-warni semenjak hampir 3 tahun lalu, sejak aku sangat bulat dan dia kurus kerontang hingga kini—matamu masih menyempit di kedua ujungnya dan mataku mengkantung pekat di atas-bawah kelopak—masih setia datang dan pergi, karena jingga di terbenam fajar pun akan sirna kelam menjadi pekat malam, jadi aku percaya kau ‘kan setia kembali. Entah sampai kapan akan terus begini. Satu yakinku warna-warni kan jadi abadi, meski bukan dalam jingga—kita.

Aku tetap masih mengiba, sehingga semesta berikanku yang lain. Sesuatu yang membuatku lebih hidup. Gingsul manis di senyumnya dan mata yang (juga) menyempit di kedua ujungnya. Terlebih dari itu aku lebih menghargai lewat kesederhanaanya menjalani hari. Membuatku benar-benar hidup, bicara panjang tentang hal-hal anti eksakta, “IPA murtad”, katanya. Sementara aku anak eksakta yang masih kebingungan. Caranya mendebatkan segala sesuatu agar dapat mengalahkanku, pemikirannya yang simpel dan terlalu biasa tapi memberi makna, namun dari situ aku mengaguminya.

Kesederhanaan.

Tahukah dirinya, Aku lahir dalam denyut-denyut kesederhanaan. Nilai tentang kesederhanaan tak pernah luntur dari benakku, aku belajar banyak dari Ayahku. Hingga kemudian aku menemukanmu pada keadaan yang tak tepat. Pada keadaan yang memaksaku menjadi yang lain, hingga mungkin kesederhanaan itu hampir tak terbaca lagi di diriku. Hingga mungkin membuatmu enggan untuk lebih menemukanku.

Pesan singkatnya terakhir, “belajar makanya belajar”.
Di sini aku yang terpaut waktu akan belajar memahami.
“Iyaa iyaa Dek”
.....
 “Tua itu pasti tapi dewasa adalah pilihan”, berbulan lalu katanya.

Dan semalam bersama seorang teman yang tetap membuatku hidup, karena aku akan tetap jadi aku—gue.  Membuatku meledakkan banyak pertimbangan.

Tentang arti apa yang aku cari dalam menyibukan diri, sementara tetap seperti ini.

Sedang apa aku selama ini tanpa tujuan, bersama 67 manusia ajaib.

Warna-warni apa yang akan menjadi abadi, atau hanya berakhir abu-abu.
Dialah konspirasi semesta yang akan membuatku kembali pada nilai-nilai kesederhanaan.

Tolong jangan tinggalkan aku sendiri dalam hingar, padat dan menderunya tanggung jawab bersama ini.
Temani aku pelan-pelan memaknai diri, belum terlambatkah untuk ku mengulurnya mengartikan satu per satu?

beben-eleben.tumblr.com
Aku tak meminta warna-warni ini jadi warna favoritku, jingga. Aku hanya berharap jangan ada abu-abu diantara kita. Aku rela, jika kelak kau ‘kan jadi violet bersama yang lain.

Dan, teruntuk kesederhanaan yang tak akan pernah lekang, ku mohon jangan menghindar. Karena bersepeda atau berlarian di rintik hujan lebih indah daripada terjebak macet dalam benda bermesin itu. Aku tak m 
enyangkal. Biar ku nanti saat-saat kesederhanaan berbuah yang lain, kamu mari kita mendebatkannya.

Ini adalah Aku, kemana sang Gue yang terkadang arogan, kemana kata-kata gue yang terasa lepas bila disampaikan. Aku membodohi diri. 


You Might Also Like

2 komentar

  1. jadi terharu..... :'' memang kok, bersepeda atau berlarian di bawah rinai hujan lebih jauh lebih menyenangkan daripada terkurung di dalam benda besi itu (:

    BalasHapus
  2. hampir satu jam baca history chat dari Mon, 2 Dec 2013, sudah gilakah gue?

    BalasHapus

Cari Blog Ini