Masalah

8/17/2014 12:27:00 AM

Ya Allah hamba mohon malam ini saja tambahkan 1 jam untuk hari ini.


Yap, kini anak tak tahu diri ini semakin keterlaluan.

Di antara berjuta kepedihan di detik ini.  Hinakah aku jika aku meminta seperti yang di atas itu? Pasti di benakmu bermunculan kalimat pesetujuan bahwa aku memang hina! Muncul berjuta kejadian, gambaran peristiwa... seperti saat video nangis-nangis Marshanda terunggah seseorang kemudian pasti akan muncul dengan komentar, “berlebihan, coba bayangkan para saudara kita di Gaza, Palestine yang.......blablabla~”.

at the end. The point is everyone got their problems, everyone had their dramas. Dan mereka punya jalannya masing-masing. Jadi?

Haruskah kita menjadi batu tak peduli dengan sekitar, fokus pada masalah dan drama masing-masing?  Apakah dengan begitu dunia akan lebih damai?

Sayangnya enggak.

Gue menyadari itu secara tidak langsung di detik ini.
Sejujurnya lewat deretan huruf ini, hati gue mereda—mungkin untuk sesaat—karena bayang-bayang masalah orang lain yang secara ga sadar gue hadirkan sendiri.

Gue si anak tak tahu diri ini, sedang merengek kepada Tuhan. Meminta untuk bonus waktu di hari ini. Sesaat kemudian bayang-bayang itu hadir, what the...Cuma gara-gara ini dengan tak tahu malu gue meminta hal tersebut pada Tuhan. Berjuta masalah orang—masalah manusia—menghiasi benak gue, dari ketelatan menuju Bandara hingga batas hidup-mati seseorang yang apabila mungkin diberi bonus sedetik saja semua akan berubah.

Bersyukur. Bersyukur dalam tubuh normal gue ini rasamya ada sistem yang selalu mengingatkan gue, selalu mengontrol gue di saat-saat gue mulai mengiba penuh keluh. Ya, membuat gue sedikit bersyukur.

Jadi menurut gue, terkadang perlu setidaknya untuk tahu berbagai masalah orang lain. Bukan jauh-jauh supaya bisa kita menolong mereka. Halah, egoismemu masih tinggi untuk mencapai tingkatan itu, sekedar menengok kepedihan orang lain pun usaha menekan egoisme dengan keras. Tahu bukan untuk menjadi tabu kemudian menganggap lucu.  Sedikit yang gue pelajari dari ilmu peka, mengajari segala sesuatu untuk selalu disyukuri. Ya, hai anak si tak tahu diri kamu masih jauuuuuh beruntung. Dan, hai bisakah kamu sedikit—sebut lebih kurang dari sedikit—bersyukur dengan tidak mengiba penuh haru dan keluh? Tuhan pun muak. Apalagi mereka—orang-orang yang masalahnya selalu dijadikan bayang-bayang untukmu bercermin?

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?”
"Fabiayyi Ala I Robbikuma Tukadziban"


Jujur, gue bukan orang alim—ya iyalah kan elo mah tak tahu diri—yang hidupnya secara sadar segala perilaku berhubungan dengan ayat Al Quran. Tapi satu ayat tersebut secara sadar dan rajin menampar-nampar gue di berbagai situasi.

Di sini gue mengutarakan mungkin ingin beterima kasih pada kalian, pada mereka, pada masalah-masalah di luar sana yang terkadang, malah sejujurnya sering mengobati perihnya gue di sana-sini.  Oke perih secara universal memang relatif, bebas silakan katakan itu.  Bebas silakan muak sama gue yang mengaku perih karena punya masalah—yang mungkin diketahui—hanya secuil. 

  Hai, sekarang boleh kalau gue sebut tingkatan masalah itu relatif?
tolong, jangan larang-larang orang merasakan, mendalami drama-drama dari masalah-masalah mereka, selama engga mengganggu. 


@amalinair
0.20













APA SIH MASALAH LO,  SAMPAI MINTA TAMBAHAN WAKTU SEJAM SAMA TUHAN?
Nahkan, kepo. Apa buat cerminan lo supaya bersyukur? Halah.

You Might Also Like

0 komentar

Cari Blog Ini