Aku Menyimpulkan tentang Kita

8/31/2014 10:44:00 AM

Sebabku tak mampu mengartikan getar ini, sebabku meragu pada dirimu.---

Biar sepenggal lirik tersebut sedikit mengisahkan antara aku dan doi di dalam semestaNya. Ketika semua terasa begitu jelas haruskah aku memperdaya diri sendiri kalau yang terjadi ini tak nyata. Waktu tidak akan pernah bersaksi, dia hanya akan terus membisu, membiarkan pelakunya mencatat sendiri dalam guratnya yang tentu berlalu. Mencatatkah kamu pada setiap apa-apa yang terjadi di antara kita?

24 Agustus 2013; aku menemukanmu, mencari awal baru tentang kita.
24 Agustus 2014; aku menemukanmu, aku menyimpulkan tentang kita.

Setahun berlalu, kita tetap menjadi kita. Tak ada yang kurang maupun lebih. Kuharap kita akan selalu seperti ini, aku menginginkanmu di sini, melalui doa-doa terdahulu, agar kelak kita bersama di sini. Tuhan mengabulkan, semesta kembali memberi keindahan konspirasi-konspirasi. Kuharap kita akan selalu seperti ini, meski kelak pasti ada yang lebih, meski kelak yang kudengar bukan lagi ocehan-ocehanmu mengenai mereka yang pernah mengisi hari-harimu. Aku berjanji mendoakanmu yang terbaik, aku belajar ikhlas menunggu ocehan-ocehanmu yang membuncah ceria melalui matamu yang selalu menyempit di kedua ujungnya.

Aku menyimpulkan tentang kita.

Banyak batas yang terlalu jelas. Banyak hal yang tak tercatat tentu olehmu, sehingga waktu pun enggan mengingatkan. Kuharap semesta tak jadi enggan, menghiaskan konspirasi di waktu-waktu kita.

Kamu tahu aku, kamu mengenalku. Aku si jam karet nomor satu mungkin di hidupmu. Terlambat satu jam aku pada sebuah janji, lantas kemarin kamu berucap, “.....kan khawatir...”. Sungguh, kamu tak perlu mengkhawatirkanku. Aku tak pernah terlambat untuk hal ini, untuk bisa menyimpulkan tentang kita.

Bahkan tak kuasa ku meminta lebih pada deburan ombak saat itu di depan kelopak mata kita—mataku yang sayu mengkantung dan matamu yang semakin menyipit oleh sang terik—hening. Sesaat gundukan butiran pasir yang memecah keheningan kita. Kamu melemparkannya, aku dibuat kesal olehmu. Bukan, bukan pasir-pasir itu yang membuatku kesal. Kamu melemparkannya lagi, aku semakin kesal. Tolong jangan kau lemparkan lagi, senyum teramat manis itu dalam bingkai terindah—butiran pasir, sang terik dan deburan ombak.

Karena senyum itu, terlalu menyakitkan segera menyadarkanku. Hari itu aku menyimpulkan tentang kita.

You Might Also Like

0 komentar

Cari Blog Ini