Istimewa

3/23/2014 01:31:00 PM

Sudah berbulan dan berminggu tidak ada deretan aksara yang melanjutkan kisah sepenggal kehidupan seorang manusia biasa ini. Setelah panjang hari dan waktu yang gue habiskan di sini, di tanah yang disebut-sebut daerah istimewa ini, ya kehidupan gue sekarang berjalan di sini.  Seistimewa daerah ini kah? Tidak, biasa saja.  Ah, dimana rasa syukurmu, Mal? Ya, tentu saja gue telah dilimpahkan berjuta detik teristimewa, di sini, Yogyakarta.

Banyak yang seharusnya gue syukuri walau hanya melalui deretan kata. 

Tidak terasa sudah dua minggu gue berada di semester genap tahun pertama menjadi seorang anak kuliahan, ya MAHASISWI.  Tidak terasa dan hampir terbiasa dengan segala keadaan yang sangat berbeda, jauh dari rumah.  Tidak terasa banyak suka dan duka yang telah terbagi bersama orang-orang baru di sini.  Sungguh terasa berjuta biaya yang dikeluarkan untuk menghidupi seorang anak di tanah orang ini, demi masa depannya.

MASUK FK
Sesuatu yang istimewa ketika mendengar dua huruf tersebut F-K.  Fakultas Kedokteran, ini nyata bukan sekedar ber-sarkasme, fakultas ini disebut-sebut dihuni kaum jenius sekaligus kaum borjuis.

Lalu gue? Ada dimana letak dan posisi gue diantara kedua kaum tersebut?

Bukan, gue bukan seseorang yang nantinya pada nama depannya berawalan dua huruf kecil istimewa itu(dr).   Gue adalah sesorang yang memiliki embel-embel huruf lebih banyak di belakang nama gue kelak.  Loh kok ada di FK?

Amalina Idzni Rachman, S.Gz, RD.

Terlalu banyak yang gue dengar, gue rasa, dan harus gue pahami.  Keberadaan tiga prodi di FK memang kadang teralu awam untuk diketahui banyak orang. 

“Fakultas apa pak anaknya di UGM?”
“Kedokteran”
“Wah.....”, kemudian sang penanya matanya berbinar-binar dan bokap gue lesu bingung harus menjelaskan, menyudahi pembicaraan atau memberi senyuman tergagahnya.
“Mba kuliah? Fakultas apa?”
Maka akan ada dua opsi yang harus gue lakukan, menjawab dengan jawaban pertama :
“Kedokteran..”, kembali berbinar juga....dan sialnya gue selalu menambahkan kalimat ini setelahnya, “tapi prodi gizi”, selalu, entah mengapa selalu keceplosan dengan kata ‘tapi’.
Atau opsi kedua :
“Gizi Kesehatan”, weyyyyy ga ada kali fakultas gizi di seluruh Indonesia juga.
-__-
Kemudian kejadian saat gue berkunjung ke SMA untuk sosialisasi mengenai kampus UGM, “perkenalkan temen-temen, saya Amal dari FK”, huru-hara tepuk tangan meriah pun mengiringi perkenalan gue, yang dilanjutkan dengan cemooh teman-teman sekampus gue lainnya.
“Jurusan woy jurusan!!”, protes mereka.

FYI, semua orang (S1) yang jungkir balik belajar-praktikum-tutorial, terenggut jiwa-raga-batin ngerjain laporan, bukan cuma calon dokter.  Ada partner sejati dokter yaitu para calon perawat dan ada kami—yang tidak seluruhnya akan menjadi partner dokter—para (apapun nanti jadinya) calon ahli gizi.  Dunia kami tetap sama dunia kesehatan.  Tapi memang gue tetap tak mengerti mengapa ada fakultas farmasi, kedokteran gigi, kesehatan masyarakat, mengapa gizi tidak boleh memerdekakan diri dari fakultas kedokteran. Hahahaha jangan deh bahaya, better gini kayak sekarang deh. 

DO WHAT YOU LOVE!
ga bisa?
LOVE WHAT YOU DO, deh!

MASUK GK

Kalau punya impian dan tujuan yang jelas, harus detail.
Teringat lembar awal yang gue isikan saat pendaftara SNMPTN Undangan tahun lalu : Fakultas Kedokteran.

Banyak perdebatan untuk sampai di titik ini.  Tentang IPB, pendidikan dokter, hingga gue diberi kepercayaan untuk memilih teguh pada keyakinan yang gue pilih sendiri. 

Untuk seorang gue itu adalah salah satu keputusan terbesar dalam hidup yang gue buat sendiri.  Sejak masuk TK hingga SMA gue tak pernah berada dalam pilihan gue sendiri untuk melanjutkan studi.  Bahkan kebanyakan barang-barang gue, sebut saja gadget—yang biasanya menjadi barang pribadi pilihan pribadi—adalah pemberian Bokap pilihan bokap tanpa gue ikut pergi ke tokonya apalagi meminta tipe/model/serinya.  Ya gue memang tipe nerimo hahahaha.

Back to the idea, apa pula itu GK? GK ya Gizi Kesehatan dong.  Ya inilah gue, menjalani kehidupan perkuliahan sebagai mahasiswi Gizi Kesehatan. Bukan mahasiswi gagal kedokteran :”).  Bercerita tentang masuk GK, banyak hal terlalu istimewa sehingga begitu mengejutkan bagi gue. 

Dihadapkan dengan lingkungan FK, seperti yang gue sebut-sebut di awal tadi, memang terasa ada banyak atmosfer yang berbeda.  Rasa tak percaya masih sering gue dapati ketika menuliskan NIM  ../..../KU/.... hahahaha alay ya? Norak sih padahal biasa saja.  Engga deh, bangga luar biasa ini mah.

Ya begitulah.... gue mah noan atuh, NO WAY! Gue anak FK kaleee hahahaha

Bicara GK ;
·         dia masih muda, kurang lebih hampir menginjak baru 11 tahun sejak berdiri pada tahun 2003.
·         dia belum se-famous dua kakaknya PD (pendidikan dokter) dan IK (ilmu keperwatan),
·         dia punya gedung utama bergaya historikal berlantai dua di pojok kawasan FK,
·         dia terlalu terkesan feminim karena minim mahasiswa,
angkatan 2012, 7 laki-laki dari total 80an, 2013, 2 orang dari 69 orang.
·         dia mengajarkan kami keseimbangan ilmu antara makan-makan-eksakta-sains-sosial-seni,
makan-makan : gizi dasar, ilmu bahan makanan, analisa zat gizi, dll
eksakta : matematika, statistika, ekonomi, menghitung kalori dll
sains : anatomi, fisiologi, biokimia, kimia organik, biologi molekuler dll
sosial : sosiologi, antropologi, psikologi, filsafat, manajemen, komunikasi dll
seni : menyusun menu makanan pasien, klien, teman, kerabat dan orang-orang tersayang.
·         dia mempersiapkan kami menjadi tenaga medis yang sayang keluarga,
JADI MARI BERKELUARGA DENGAN KAMI!! (pake capslock loh ini) :p
·         dan dia adalah kami yang bersahaja dan selalu membumi :)


MASUK KEORGANISASIAN

“Mal, elu ikut ekskul apa?”
*nyengir*
“Mal nilai ekskul lu berapa di rapot?”
*nyengir*
“Dek, dulu waktu SMP atau SMA pernah ikut organisasi apa?”
*harus di jawab* “mmm...jadi gini ya mba.......”

Jadi, gue dulu adalah makhluk asing yang suka mengasingkan diri lewat kegiatan asing seperti selalu pulang ke rumah setelah melakukan aktivitas yang namanya sekolah tanpa pernah terjun ke kegiatan-kegiatan asing di luar jam sekolah.  Booooooong deng!! Kerjaan gue selepas jam sekolah mondar-mandir ke kelas orang tanpa ada tujuan berarti, nungguin orang buat pulang bareng sampai berabad lamanya, nongkrong-nongkrong di koridor sampai badai menghadang atau gelap menjelang, dan cabut/bolos/mabal ekstrakurikuler ha ha ha ha ha

Singkatnya, gue dulu anti organisasi ya parahnya nyaris ansos, nyaris ya hampir itu mah.  Gue tidak terlalu tertarik oleh keterikatan akan sesuatu hal, kesibukkan dan kerempongan semu yang terlihat oleh gue.  Dan sekarang.......gue tersadar.

Tersadar akan bodohnya gue kala itu, menyia-nyiakan waktu dan kesempatan.  Setelah serangkaian acara pembangunan diri dan motivasi yang disediakan oleh kampus tercinta dan pertemuaan dengan banyak orang hebat—di mata gue—yang masih biasa—dibanding di luar sana—sedikit banyak membuka mata gue.

Gue yang berlatar belakang ‘tau apa sih lo?’ aka tak tahu menahu akan keorganisasian, mencoba untuk masuk ke beberapa kegaiatan non-akademik kampus.  Beginilah gue dengan modal nekat (lagi dan lagi).
Setelah pasrah dan selalu berkecil hati ingin teriak, garuk tembok, gigit batu setiap di wawancarai untuk kepanitiaan,

“Dek, dulu waktu SMP atau SMA pernah ikut organisasi apa?”
“Dek, udah ikut kepanitiaan apa aja?”
Fail. Fail. Failed.
Gagal? Sering.  BOMAT hahahaha yang penting nyoba :)
Tapi sekarang sudah ada jawaban ketika ditanya, “di Fk ikut BSO apa aja, Dek?”

Kecil.  Bukan apa-apa gue dihadapkan dengan para akademisi berprestasi, para aktivis yang punya gagasan dan ide brilian, bisa speak-up bahkan aksi.  Belajar tiru. Nekat. Berubah. Terlintas tiga kunci ekspres ciptaan gue.  Kadang perasaan kecil, rendah dan kurang ini bisa jadi power tersendiri.

Karena bagi gue,  “lebih baik bodoh diantara orang pintar darpada pintar diantara orang bodoh”.

JADI ANAK KOSTAN

Pernah merasa terkekang dan tidak bebas oleh keadaan rumah dan orang tua?
Mau jadi anak kost aja kayaknya asik deh?
Itu semua hanya ilusi ~~

Bodoh.  Remaja labil yang berpikiran begitu dengan menampikkan kenyataan memiliki keluarga yang begitu penuh rasa cinta dan perhatian.  Jadi anak kostan, haus kasih sayang dan perhatian?!

Jujur, gue awalnya punya keinginan mencoba menjadi anak kost, ‘kapan lagi?’ pikir gue kala itu.  Punya kehidupan sendiri, SENDIRI.....makan sendiri, tidur sendiri, cuci baju-piring sendiri, dan gue sering ngomong sendiri....................

Sucks.

Jogja, pilihan gue.  Orang tua gue pun menyetujuinya dan mempercayakan keputusan gue.  Dengan dasar ada dua orang adik nyokap gue dengan keluarganya di sini.  Setidaknya gue tidak benar-benar sendiri di hiruk-pikuk daerah istimewa ini. 

Pencarian kostan dimulai memang agak telat dibanding teman-teman gue yang lain, yang lolos lewat jalur undangan.  Lelah.  Mencari kostan memang tak semudah yang dibayangkan.  Apalagi mencari bersama keluarga besar—i mean litterally keluarga besar—dengan pawai tiga buah sepeda motor pencarian berawal, berakhir dengan gue nyasar ke Malioboro dengan hujan deras, basah kuyup.  Hari kedua keluarga besar bertambah besar dengan kedatangan Eyang dan Oom yang lain.  Pawai pencarian kostan untuk cucu pertama ini, diisi dengan dua buah mobil yang beriringan.  Hasilnya, nihil.  Hingga hari ketiga bersama Mamah dan Oom gue yang orang Jogja menemukan tempat ini, kamar ini, sepetak ruangan kedap sinyal ini ; )

Goa tercinta ini.
-Kedap sinyal, untuk seluruh operator jaringan, sinyal membaik ketika 10 langkah dari pintu kamar.
-Sirkulasi udara terbaik dibanding kostan teman gue lainnya.
-Letak strategis dari pusat kebutuhan hidup mahasiswa sekaligus anak kost.
-Tetangga kamar ramah tidak rempong dan usil, sampai-sampai kami tak pernah bersua, bertegur sapa apalagi mengobrol curhat-curhatan.
-Begitu pula penjaganya, kecuali jika kamu telat bayar uang bulanan dan listrik.
-Fasilitas kasur, tempat tidur, meja, lemari, cermin, kamar mandi dalam, garasi luas, ruang tamu, dapur bersama.
-Kemanan terjaga maksimal, cowok/laki-laki/pria dilarang masuk (bahkan bokap gue harus mengendap-ngendap untuk melihat keadaan kandang putrinya ini), kecuali suami dan kerabat-kerab sang penjaga kostan-_-.
-Alamat, hahahaha bahkan sampai hampir setahun gue disini gue tak tahu alamat jelas dan lengkap kostan ini, pokoknya strategis dari jalan utama terlihat megah, menawan dan indah.
-Harga....mmm datang saja ke sini tapi jangan keluarga laki-laki yang menanyakan (oom gue ketok-ketok pintu aja ga dibukain waktu itu).

Cave sweet Cave.
Feel tired back to your house, feel lonely find your own HOME.


JAUH DARI RUMAH

Sebagai visioner yang harus evaluator hahahaha gue rasa, mungkin jika gue tetap berada di zona aman dan nyaman saat ini, jelas, lain cerita jika gue harus tetap menetap di Bogor, mungkin gue hanya akan menjalani kebiasaan yang akan gue sesali seperti di masa sekolah dahulu. 

Lalu apa kemajuan yang dapat diambil dari lebih dari setengah tahun di sini?

Banyak hal yang gue pelajari dan gue selami dari menjadi mahasiswa sekaligus anak kost.  Menjadi keduanya jelas predikat yang berbeda.  Mahasiswa mandiri, sadar kewajiban, mengemban banyak tanggung jawab, tidak hanya akademis dan ipk tuntutannya, sikap-perilaku-moral pun harus tercermin berbeda, dan tujuan hidup harus (menuju) jelas.  Mahasiswa jelaslah orang-orang terpilih, bukan orang biasa apalagi berada di kampus ini.

Sedangkan menjadi anak kost adalah saat malam-malammu semakin sepi tanpa tawa-tangis adik-adikmu, pagimu sepi hanya bersuarakan alarm tanpa teriakan Mamah, soremu sepi merindukan suara klakson mobil ketika Papah pulang kantor, akhir minggumu hampa tanpa Papah yang mengajak pergi keluar walau hanya sekedar makan nasi goreng di depan komplek.  Kemudian baju kotormu teronggok di pojokan kamar tanpa ada yang merapikan bahkan menegur, tak ada lagi aroma sedap dari dapur yang membuatmu bersemangat memulai hari, bebas saja makan mi instan setiap hari tanpa ada yang memarahi dengan peduli.  Saat ke pusat perbelanjaan hanya untuk jalan-jalan sekedar melihat-lihat, ke kafe atau restoran untuk memilih menu termurah dan menghabiskan waktu demi wifi gratis.

Tak bisa lagi beralasan, “sorry gue ga bisa datang, ada ACARA KELUARGA”.

Jauh itu berjarak.  Jarak yang menyadarkan kita ada rumah tempat pulang.  Ada orang-orang yang setia menanti dan pergi tak peduli.  Ada orang-orang yang setia di sisi mengisi sepi hingga tak pernah ada rasa, kesepian.

Jauh dari rumah adalah being alone without lonely.

23.15
22/03

@amalinair

You Might Also Like

0 komentar

Cari Blog Ini