Monolog : 20 Menit
5/13/2013 08:40:00 PM
Hati: Sudah berapa lama wujud “doi” terasa semu mengisi mimpi jauh dari relung
realita?
Lama sekali, rasanya
kering kerontang. Tapi terus bertahan tak
menghilang.
Otak: Lalu mengapa mempertahankan rasa dengan
jangka yang lama, seakan terasa sia-sia?
Karena si hati
(dulu) punya keyakinan ini semua bukan sepihak. Waktu itu rasanya dengan begitu
saja sebuah klik tercipta, siang itu
gue percaya semesta sedang berkonspirasi, kemudian di siang berikutnya bahkan malam
atau pagi. Berat, ketika otak mencerna
keadaan sepihak berkepanjangan tapi hati tak pernah menyerah semakin
menjadi-jadi, kuat.
Banyak hal yang
seharusnya membuat gue jera bahkan menyerah.
Sesungguhnya gue tak pernah berkaca pada realita. Yang di hati ini terus
mengalir tanpa muara yang pasti. Semakin diresapi memori desir hangat yang
rasanya sudah terlalu lekang itu tetap terjaga, tak terjelaskan dalam logika.
Gue memaksa hati merasakannya lebih dalam, khidmat. Walau otak seperti tertawa-tawa, mengolok
ketololan yang kompak dicipta hati.
Hati: Tapi mengapa juga “dia” masih berseliweran
di sisi kosong lain?
Karena gue pun tak
tahu pasti.
Otak: Pasti elu mengerti!
Coba jawab pakai nalar!
Iya karena “dia” adalah sesosok absurd yang penuh dengan ketololan, membuat gue merasa
meledak-ledak. Ledakan yang membuncahkan
tawa hingga ledakan yang mencipta amarah. Gue tak menolak antusiasme diri yang
berasal dari kalimat pendek tak bermakna pada awalnya yang kemudian dilanjutkan
menjadi paragraf berkelanjutan yang isinya gue yakini hanya cerita dan percakapan
hina.
Ini menjadi bahaya
ketika kecewa sering hadir di relung lain, menantikan ledakan tanpa arti
tersebut, terasa ada yang kurang dan gue peduli. Atas dasar otak, nalar dan logika gue masih
berjalan, beribu alasan dapat gue uraikan kalau semua ini berbatas. Batas bagi gue dan dia terpaut banyak dan
jelas. Rasionalnya.......ah! gue diam,
jadi tolong untukmu hati, jauh-jauh dari urusan ini, sungguh untuk kali ini gue
harus menjauhkan hati.
-***-
0 komentar