Kau Mengundangku?

9/18/2012 09:16:00 PM


Teeeet teeeet...teeeet...
“Iya iya sebentar! Siapa lagi bertamu siang bolong begini?” gerutu seorang gadis dari dalam rumah minimalis bercat warna gading tersebut.  Kemudian dibukakanlah pintu kayu yang mulai berdenyit.
“Permisi Mbak? Maaf menggangu, apa benar ini rumahnya Ka..Kash..Kashya?” tanya seorang pemuda yang tiba-tiba tergagap saat menyebutkan nama gadis itu.
“Oh iya Mas, benar. Ada apa ya?” sang pemilik rumah kembali bertanya.
“Ini Mbak saya mau kasih undangan ini, maaf ya mengganggu, habis pintunya nggak dibuka-buka sih!”, jawab si pemuda dengan nada yang berubah ketus.
“Loh kok Masnya sewot? Lah kan harusnya saya yang marah, siang bolong begini dateng ke rumah orang.  Mas tau? Ini tuh jam orang istirahat, salahnya sendiri dateng jam segini.  Masih untung saya bukain pintu!” jelas Kashya yang tak mau kalah dengan si pemuda ketus itu.
“Yah kalau saya bukan nganter ini undangan juga, saya ngga bakal dateng ke sini, tengah hari bolong gini! Ganggu istirahat situ!?”
“Hah? Apaan? Itu kan urusan situ, kerjaanya situ! Baru jadi tukang nganter undangan aja sok-sok manja, hiiiih!” sentak Kashya seraya berjalan masuk ke dalam tanpa menghiraukan sang pemuda pengantar undangan tersebut.
Dengan kesal dilemparkannya undangan berwarna violet yang masih rapi terbungkus plastik ke atas meja ruang tamu, tanpa minat untuk membaca bahkan ingin tahu dari siapa undangan itu berasal.  Kashya kembali menyumpal telinganya dengan earphone, lagu tenang bergenre country pun mengalun tenang di telinganya menemani sisa siang harinya yang terganggu oleh pemuda ketus tak dikenal.

 -***-
Seminggu sudah Kashya menghabiskan liburan semester di tahun kedua kuliahnya.  Satu tahun telah dilewatinya tinggal seorang diri di kota Yogyakarta.  Rasanya hari begitu cepat berlalu, ia tidak ingin cepat-cepat kembali ke kota yang diimpikannya sejak SMA dulu.  Kashya masih begitu rindu dengan kedua orang tuanya dan adik-adiknya juga dengan suasana rumah.
“Heh Mbak! Ngelamun aja!” adiknya mengagetkan.  “Pagi-pagi udah ngelamun aja lo?  Kesambet nanti loh, oh iya gimana kampus elo?”
“Nggg.. nggak apa-apa..”
“Udah ketemu cowok ganteng belum?” tanya adik Kashya menggoda.
“Iiih bocah diem deh! Nyerocos mulu pagi-pagi”, sewot Kashya pada adiknya yang baru beranjak SMA.
“Yeee biarin dong bodo amat! Hahahahaha...”, ledeknya sambil melesat kabur sebelum kemarahan Kashya memuncak.
Lamunan Kashya kembali berlanjut namun berganti tema, ia mulai terbawa kata-kata adiknya mengenai seorang cowok, laki-laki tepatnya.  Mungkin hati Kashya beku atau ia yang terlalu fokus untuk mencapai cita-citanya, menjadi dokter muda.  Obsesinya semenjak masa SMA dulu, masa dimana Kashya terbawa pada banyak romansa tapi tidak untuk sekarang pikirnya.
“Sya.. Syaa...” panggil ibu Kashya yang menyadarkan dari lamunan sesaatnya.
“Eh iya Mah, ada apa yaa?”
“Ini undangan dari siapa? Kok atas nama kamu ya? Untuk kamu nih berarti”
“Ah masa Mah? Nggak tau juga sih dari siapa, kemarin tuh yang nganter undangan cowok nggak jelas gitu, marah-marah aneh deh!” jelas Kashya pada ibunya.
“Aneh gimana? Coba mamah baca” dibukalah plastik pembungkus undangan manis tersebut. “Oalah.. ini mah temen kamu dulu, siapa tuh yang dulu rumahnya deket situ, tapi terus pindah.  Nih kamu liat deh”
“Siapa Mah? Kak Dimas?” sentak adik Kashya tiba-tiba sambil merebut undangan dari tangan ibunya.
‘What?! Dimas? Hah asli, yang bener? Dimas nikah? Kok cepet yaa? Gue sama dia kan cuma beda tiga tahun, kalau dihitung-hitung yaaa sekarang 23 atau 24 tahunanlah kayaknya.  Kok dia udah mau nikah aja ya?’ pikir Kashya tidak percaya.
“Coba sini-sini aku liat” rebut Kashya.
‘Wah beneran ini si Dimas.  Dimas Pradipta, nama bapaknya Parsetyo Pradipta asli nih nggak salah lagi Dimas! Ya ampun Dimas kok elo ninggalin gue sih? Kok elo nikah duluan?’ batin Kashya saat mebaca isi undangan cantik itu.
“Yaaah kasian deh cintaku tak terbalaskan, makanya jangan menunggu hal yang semu, direbut orang deh ‘Dimasku’, uuh kasian Mbakku yang satu ini” goda adik Kashya seakan dapat membaca pikiran kakaknya, tanpa peduli dengan raut wajah Kashya  ia tetap menggoda.
Seakan langit runtuh menjatuhi Kashya, matahari yang jaraknya 150 juta km dari bumi seakan mendekat.  Hati dan matanya seketika terasa panas.  Ada sesuatu yang membuat sesak di dada, menyerap seluruh oksigen di tubuhnya dan hanya menyisakan rasa lemas.
Dengan gontai Kashya memutuskan beranjak ke kamarnya bukan untuk mengurung diri atau meratapi berita mengejutkan pagi itu.  Ia segera menyiapkan peralatan berenang. Memasukan baju renang, bodylotion, handuk dan sebotol sabun cair ke dalam ransel jingganya. Itulah cara terbaik Kashya menenangkan diri, dengan membenamkan kepalanya ke dalam air dapat membuat Kashya sedikit rileks. 
Kashya terburu-buru ke luar kamarnya, tanpa pamit ia menuju garasi, mengeluarkan motor maticnya dan bergegas pergi ke sport club di depan perumahannya.  Namun sebelum ia keluar dari gerbang rumah, terdengar ada yang memanggilnya.  ‘Rasanya seluruh perlengkapan sudah lengkap tak ada yang tertinggal, Mamah juga pasti hafal tanpa pamit pun beliau tahu kalau setiap pagi jika libur aku mau berenang’ rutuk Kashya.
Ternyata itu adik Kashya, dengan menyerahkan sebuah kartu mini berwarna violet, adiknya berkata, “Mbak! Ini ketinggalan, ada di selipan undangan yang tadi.  Eh mau kemana Mbak? Ke rumah Dimas ya? Mohon-mohon batalin nikahan atau mau ngucapin selamat? Hahaha..”
‘Astagfirullah..dosa apa gue punya ade kayak gini.  Nggak tau perasaan kakaknya banget sih?’ gerutu Kashya dalam hati sambil memasukan kartu tadi ke dalam ranselnya.  Dihiraukan saja ocehan adiknya, Kashya kembali menyalakan mesin motornya dan segera melesat pergi.
 -***-
‘Ah... capek juga udah lama nggak berenang’ keluh Kashya pada dirinya sendiri. 
Sambil merenggangkan badanya, Kashya teringat sebuah kartu yang diberikan adiknya tadi.  Perasaannya mengenai kabar Dimas akan menikah sudah cukup stabil.  Dimas memang bukan siapa-siapa namun hanya Dimas yang selalu hadir saat Kashya membutuhkan bantuan, terakhir bantuan Dimas kepada Kashya saat ia mengerjakan tugas akhir SMA pelajaran penjaskes, Dimas yang termasuk atlet di masa SMAnya membantu Kahsya dengan sepenuh hati. Pesan terakhir di kontak Hp Kashya dari Dimas ‘Sya.. cariin gue cewek dongJ’.  Tapi itu sekitar dua tahun lalu, sebelum Dimas pergi dari perumahan ini. Kashya tentu saja tidak berniat membalas budi Dimas dengan mengenalkannya pada wanita lain.
Sekarang wanita yang sesungguhnya bagi Dimas telah ditemukannya.  Tanpa bantuan balas budi Kashya, penemuannya tanpa sepengetahuan Kashya dan kini wanita itu telah mutlak.  Dimas memang laki-laki yang mandiri dan pekerja keras, semasa kuliah ia menjadi pengusaha kecil-kecilan dan setelah wisuda kabarnya ia melanjutkan bisnis keluarganya, jadi tentu saja tanpa bantuan Kashya ia dapat menemukan wanitanya.
            Kashya tidak berharap banyak baginya Dimas teman, yaa ia seorang teman.  Teman yang tak direlakan Kashya bila bersama perempuan lain. Kashya hanya bisa menghela nafas panjang menghadapi kenyataan yang ada.
            Setelah puas merendam badannya di dingin air kolam renang yang masih pagi itu. Kashya menghampiri ransel jingganya, ia penasaran.  Kemudian membaca perlahan kartu violet yang kata adiknya terselip di kartu undangan.
‘Hah undangan untuk hadir pada Jumat malam, sebagai panitia pernikahan? Malam ini berarti...?’ tanya Kashya dalam hati.
Dengan sekelumit bingung Kashya bergegas ke ruang ganti, membersihkan diri dan berniat segera pulang untuk mempersiapkan malam nanti.
 -***-
‘Aduh di mana nih?’ dengan derap langkah terburu Kashya menyapu pandangannya ke sekeliling Kafe sederhana malam itu.  Mencari dimana letak meja 56, meja tempat para panitia pernikahan Dimas bertemu.
            “Syaaa!”
Terdengar sebuah suara yang tak asing memanggilnya, tak salah lagi Dimas.
            “Eh hai!” sahut Kashya sambil sedikit melambaikan tangannya.  Rasa sesak tiba-tiba muncul kembali, jantung Kashya serentak berdegup cepat, langkah kakinya melemas seakan jarak meja itu terasa semakin menjauh. Dikerahkannya kembali segala tenaga yang masih tersisa untuk mencapai meja tersebut.
            “Eh calon Bu dokter, masih suka ngaret aja. Hahahaha..” ledek Dimas saat Kashya hampir kehabisan tenaga untuk menuju meja itu.  Ada rasa aliran darah yang hangat menjalari tubuh Kashya saat ledekan dan tawa Dimas menggetarkan sel-sel pendengaran telinga Kashya.
            “Hahaha sorry Dim, iya nih khusus buat elo mah harus tetep ngaret hahaha..” balas Kashya mencoba santai, “Apa kabar Dim? Ngilang aja, tiba-tiba udah mau pasang janur kuning melengkung, hehehe..” oceh Kashya mencoba lebih santai namun terdengar agak memaksa.
            “Gue sih baik, baik banget malah Sya. Eh iya belom kenal kan elo, ini Sya. Calon ipar elo hahaha..”
‘Apa? Calon ipar? Jadi selama ini gue.. lo anggep.... oke deh gue harus terima, santai aja Sya..’ batin Kashya menenangkan dirinya.
            Sambil menjabat calon istri Dimas, Kasyha kembali memaksa untuk santai, “Oh ini Dim hahaha.. hai, Kasyha”
            “Oh ini ade-adeannya Dimas yang jadi calon dokter, asik deh berobat gratis nih” sahut perempuan disebelah Dimas, yang cukup manis dibanding Kashya.
‘Apa? Ade-adean? Ok fine! Tahan Syaa santai. Absurd juga pernyataan tuh cewek berobat gratis kok asik? Mending juga sehat daripada harus berobat walapun gratis hemm’ Kashya kembali mencoba menenangkan diri.
Setelah sedikit berbasa-basi Kashya dipersilahkan untuk duduk, di meja telah tersedia secangkir kopi yang aromanya tidak salah lagi vanila late, kopi kesukaan Kashya sepertinya Dimas tidak lupa soal itu. Kashya segera mengangkat cangkir berisi kopi yang menggodanya, belum sempat ia menyesap isi cangkir itu.  Terdengar suara ketus namun pelan dari seseorang di kursi sebelah Kashya berada.
“Oh ini toh yang ditunggu-tunggu, tukang ngaret juga ternyata” bisiknya dengan ketus.
Kashya seperti mengenali suara itu, dilirikannya kedua mata Kashya ke arah suara berasal, dari balik cangkir setengah matanya mendapati sesosok pemuda ketus sang pengantar undangan.
“Oh tukang antar undangan termasuk panitia” balas Kashya sinis.
Sebelum pertengkaran terjadi rapat kepanitaan ‘pernikahan Dimas’ pun dimulai.  Dengan membosankan dan mulut menguap Kashya diberikan penjelasan mengenai serentetan prosesi dan susunan acara. Tiga puluh menit berlalu, kepala Kashya hampir terantuk meja sesaat setelah matanya terpejam, beruntung si pemuda ketus menahan kepalanya.
“Eh ngapain elo pegang-pegang?” Kashya terkejut. Tak sempat pertanyaan Kashya terjawab, lengan Kashya ditarik, kemudian keduanya meninggalkan rapat menjemukan tersebut.
“Apaan sih lo? Siapa sih lo? Mau ngapain coba?” Kashya membombardir pertanyaan.
“Gue tukang anter undangannya Dimas, nggak mau ngapa-ngapain, daripada elo di dalem ketauan ketiduran sama si Dimasnya” jawabnya datar namun tak seketus biasanya.
‘Iyasih nggak enak juga kalau sampai ketauan Dimas gue ketiduran’ batin Kashya.
Sesaat hening.
“Eh banyak angin nih, elo mau masuk aja?” tanya pemuda itu dengan lebih halus namun tetap datar.
“Ah nggak apa-apa”
Tiba-tiba disematkan jaket denim milik si pengantar undangan ke pundak Kashya.  Kashya hanya membatu, berdiam diri tanpa menolak atau beramah tamah dengan mengucap terima kasih.  Aliran hangat muncul seketika dalam setiap nadi Kashya, ada perasaan ganjil di sana, dada Kashya kembali berdegup. Perasaan yang lama hilang kembali hadir.  Nyaman.
 -***-
“Dim elo tahu yang nganter undangan ke rumah gue siapa?” tanya Kashya melalui BMM.
“Ah sorry banyak Sya, yang tugasnya nganter undangan.  Kalau yang ke rumah elo siapa ya? Nggak hafal gue” jawab Dimas pura-pura tak tahu menahu.
 -***-
Intensitas pertemuan Kashya dan pemuda itu terlampau sering, namun tak lebih dari urusan kepanitiaan.  Mereka mulai cair satu sama lain.  Pemuda itu terkesan acuh tak acuh dalam setiap pertemuan dan perencanaan. Kashya yang tak terbiasa dan tidak menyukai suasana terlalu formal terkesan cocok dengan pemuda itu.  Tawa mulai menghiasi pertemuan mereka di sela-sela rapat kepanitian.  Walau keketusan dan kesinisan diantara mereka tidak sepenuhnya hilang.
Hingga hari yang dipersiapkan tersebut tiba.  Kashya kini benar-benar santai dan rela menghadapi kenyataan.  Seperti menemukan sesuatu yang baru, Kashya ringan menghadapi hari ini.
Dengan tradisional sesuai adat sunda, para panitia pernikahan mengenakan busana senada.  Kebaya moderen berwarna marun dengan jas takwa khas Sunda.
 “Cantik kok cantik”, puji sebuah suara ketus saat Kashya sedang merapikan hijab dan riasan wajahnya.  Rona merah mungkin merekah di wajah Kashya, tapi terhalang oleh blush on yang sudah menghiasi wajahnya.
Segala prosesi pernikahan berjalan lancar, perasaan bahagia kini terasa pada Kashya ada haru biru yang sempat terasa.  Menyadari Dimas dan dirinya telah beranjak jauh, sangat jauh dari masa saat mereka habiskan waktu bersama walau terkesan tanpa makna tapi sungguh mengukir arti.  Inilah dewasa.
Saat resepsi hampir usai, Kashya beserta kerabat dekat lainnya bergiliran menyalami kedua mempelai.  Kashya memeluk erat Dimas, sambil menitikan air matanya, “Selamat ya Dim! Tanpa gue cariin elo bisa temuin sendirikan?”, bisik Kashya saat memeluk erat Dimas.
“Jangan nangis gitu dong Sya.. hahaha”, jawab Dimas sambil membalas pelukan erat Kashya, “Eh Sya, kalau yang itu disana gue yang cariin loooh! Selamet juga Sya hahaha sekarang kita nggak bisa dipanggil ‘mblo’ lagi” lanjut Dimas sambil menunjuk ke arah pemuda pengantar undangan.
“Hah?” Kashya bingung. Pelukan eratnya sudah terlepas, kini ia harus menyalami mempelai wanita dan kedua orang tua Dimas. 
Kashya turun dari podium menghampiri pemuda itu dengan bingung dan sedikit kikuk.  Kemudian pemuda itu reflek mengambil setangkai bunga bagian dari dekorasi pernikahan. “Hai Kashya Rachmana! Kenalan yuk? Nama gue Yogie, gue sepupunya Dimas loh!”
Kashya terkejut, bingung dan membisu.
Sambil menyerahkan setangkai bunga di tangannya, ia melanjutkan kalimatnya, “Ehm.. Sya kita jadian yuk?”
 -***-

KAU MENGUNDANGKU ?
Menulis Cerpen Berdasarkan Pengalaman Orang Lain






AMALINA IDZNI RACHMAN



XII IPA 2
SMA NEGERI 3 BOGOR
                               Jalan Pakuan 4 Bogor 
2012/2013

You Might Also Like

0 komentar

Cari Blog Ini