in the name of INDONESIA

5/06/2012 05:42:00 PM


“Kekuasaan itu cenderung jahat dan kekuasaan yang lebih lama cenderung lebih jahat lagi.  Semua orang cenderung pembantah, bahkan untuk sebuah kritikan yang positif, apalagi untuk sebuah tuduhan berimplikasi hukum, lebih keras lagi bantahannya.  Bangsa yang korup bukan karena pendidikan formal anak-anaknya rendah, tetapi karena pendidikan moralnya tertinggal, dan tidak ada yang lebih merusak dibandingkan anak pintar yang tumbuh jahat.  Orang-orang dewasa yang jahat sulit diperbaiki meski dihukum seratus tahun, jadi berharaplah dari generasi berikutnya perbaikan akan datang.....”- Novel Ayahku Bukan Pembohong, Tere Liye.

-***-

Tahun ini usia gue 17 tahun, apa arti dari angka atau lebih tepatnya usia itu tentunya menurut gue luas banget.  Mulai dari dompet gue bakal penuh, penuh sama kartu-kartu orang dewasa hahaha, SIM, KTP, ATM, foto temen spesial (loh?) J  Gue bakal bikin SIM (Yes!) walaupun mungkin tetep nembak, karena keadaannya kalau nggak nembak nggak bakal dapet SIM-___-.

Pertama yang gue pahami bahkan yang sering gue dengar usia tersebut merupakan awal dari kata ‘dewasa’.  Apakah gue sudah memenuhi kriteria orang dewasa, gue rasa sih masih jauh dari kata sudah.  Dewasa masih menjadi kata-kata menakutkan bagi gue, sebenernya gue masih pengen gini-gini aja santai... tanpa beban pikiran-pikiran aneh.  Tapi kenyataannya gue sudah dalam under pressure tentang banyak hal, bisa dibilang pemikiran masa depan sih.

Lalu apa hubungannya sama kutipan Novel keren di atas?
Ya! Gue suka sama kata-kata di atas. Ehm..ehm.. gue mau ngomong serius nih!

Keadaan negara gue ini, yang gue tau yang gue liat di TV, koran pagi dan sebagainya kadang-kadang bikin gue hopeless, bikin gue bingung, bikin gue termenung sendiri xp
Ada apa dengan bangsa ini? Untuk menyelesaikan berbagai hal kecil semua berkata seharusnya pemerintah bahkan PNS dan pejabatnya pun demikian, kalau begitu kata pemerintah itu nihil adanya.

Bangsa yang selalu dielu-elukan dalam buku sejarah, bangsa yang gue pahami secara hikmat di mata pelajaran PkN, tapi nyatanya ._. Oke gue emang bukan siapa-siapa, gue cuma anak SMA jurusan IPA yang tidak terlalu dijejali tentang keadaan sosial bangsa ini.
Gue nggak bermaksud mengatakan bangsa ini korup, karena gue yakin masih ada segilintir orang-orang baik yang berjalan dalam sistem korup tersebut. Permasalahan tentang korup tidak akan pernah habis bagai debu di trotoar jalanan. 

Yang gue tau semua elemen masyarakat berpikir harus ada generasi penerus yang baik untuk memperbaiki sistem tersebut. Gue rasa mungkin gue bagian dari generasi penerus, tapi gue sendiri nggak tau, nggak ada figur pembangun, nggak ada sosok yang jadi panutan.  Gue sendiri merasa nggak respect sama kata pemerintah.  Kurang lebih 2 tahun lagi 2014, gue dan kawan-kawan seangkatan nanti bakal ikut suatu kegiatan sakral namanya ‘pemilu’. 

Pemilihan Umun, tapi gue yang masih labil sekarang ini kalau disuruh membayangkan bakal memilih apa, siapa dan bagaimana figur pemimpin pun tidak terlalu peduli.  Kenyataannya sebuah kampanye hanya sekedar kamuflase belaka.  Menurut gue bukan Cuma gue yang masih labil begini, banyak masyarakat yang tentunya tak peduli mereka hanya ikut-ikutan, hanya memilih karena ada iming-iming atau semacamnya.  Lantas jika seperti ini buat apa ada pemilu, terlalu banyak pengeluaran, nyatanya terpilihnya suatu kandidat bukan karena sisi figur yang hebat, berwawasan dan berpengalaman, namun karena banyaknya hasil suara dari suara masyarakat yang tertipu daya.

Kalau seperti itu salah siapa? Apakah pantas menyalahkan masyarakat yang tingkat intelejensinya masih kurang, keadaanya rendahnya pendidikan menciptakan masyarakat yang hanya berpikir singkat.  Masyarakat yang berpendidikan tinggi dan mampu berpikir luas saat ini lebih memilih menjadi golput karena hilangnya rasa kepercayaan pada sistem tersebut. Pemilu hanya menjadi permainan dan simbol dari negara penganut kata demokrasi.

“Bangsa yang korup bukan karena pendidikan formal anak-anaknya rendah, tetapi karena pendidikan moralnya tertinggal, dan tidak ada yang lebih merusak dibandingkan anak pintar yang tumbuh jahat.”

Moral adalah kunci utama terhadap permasalahan sistem tersebut.  Tidak pantas menyalahkan masyarakat rendah pendidikan formal menurut gue, karena dengan tingginya pendidikan formal mereka para kandidat seharusnya lebih mengerti apa makna kata moral. Moral harus ditanamkan dalam diri, rasa pengabdian dan kejujuran merupakan landasan utama dari sosok figur bangsa.  Namun hal tersebut tidak mungkin terlihat dan tersampaikan dalam sebuah seruan-seruan kampanye sesaat.  Cukup sulit untuk menentukan orang-orang bermoral yang saat ini suka berkamuflase.

Kembali lagi ke gue, dengan segala pemikiran abnormal dan absurd ini.  Yang gue harap sih suatu hari nanti bakal ada figur harapan bangsa yang muncul, mungkin temen seangkatan gue nanti. Untuk 2014 ke depan masih ada 70% kemungkinan gue golput, yah golput memang merugikan bangsa dan merupakan pelanggaran, tapi kalau kata ayah gue sih “Buat apa menyumbangkan suara untuk suatu kesalahan dan kepalsuan?” 

Semoga deh ada sesosok yang lebih dari si ‘Bapak-Bapak berpeci di bingkai antara sang Garuda Pancasila’.

You Might Also Like

0 komentar

Cari Blog Ini