How I Met a Stranger
3/01/2012 11:08:00 PM20:59
Gue masih otak-atik iseng edit-edit blog gue yang masih rendahan ini, setelah bosen, bete dan sejenisnya gue mutusin bikin postingan baru.
-*-
Postingan ini sih sebenernya gue tulis karena tiba-tiba gue teringat hal absurd yang amat sangat absurd tadi sore di sebuah pusat perbelanjaan terkemuka di Bogor.
Hari ini memang udah absurd di awalnya, pagi-pagi udah hujan deres yang membuat para pengguna jalan kota Bogor menjadi menggila, macet semacetnya dimana-mana, tiba-tiba di tengah kemacetan ada suara seseorang yang manggil gue.
“Mal! Mal!!!”
“Hah..”, gue planga-plongo mencari sumber suara, mendadak bokap gue ngerem dan meminggirkan mobilnya.
Dan jeng...jeng...
Ternyata itu suara temen sekelas gue yang asli absurd banget. Dia langsung buka pintu mobil, tanpa basa-basi dia ngajak temennya yang beda sekolah ikut masuk ke mobil. Well, gue sih nggak keberatan tapi yah agak kaget juga yaa, berasa kaya digrebek gimana gitu.
Dengan segala keabnormalan di jalan pagi ini dan gue nggak lewat tol karena harus nganter temennya temen gue itu, alhasil gue telat 25 menit sampai di sekolah. Oke that’s ussual!
Setelah menempuh waktu yang panjang di sekolah, jam pulang pun akhirnya tiba, bel pun berbunyi (ah klasik banget). Niatnya sih gue mau langsung pulang karena gue emang gadis rumahan abisss atau pahitnya sih cewek kuper-__-“.
Tapi niat itu tergantikan oleh ajakan Dyah,“Eh mau nganterin gue nggak?”
“Ngapain?”
“Liat Hp di Botani.”
Ajakan itulah yang menjadi awal dari kejadian terabsurd hari ini. Oke botani lah yang menjadi tkp kejadian ini. Gue pun pergi kesana bertiga sama Dian dan Dyah.
Sampai di Botani, kita langsung berjalan masuk sambil asik ngegosipin anak kelas sebelah, pak security meriksa tas gue dan kedua teman gue itu. Setelah beberapa saat akhirnya Dyah beres liat-liat display Hp yang mau dia beli besoknya. Berhubung si mba-mbanya judes abis dan gue rasa dia cuma nampang make up dempul layaknya donat di kantin, sepertinya dia yang gaji buta males menjawab pertanyaan rendahan kami yang berseragam sekolah akan fitur-fitur Hp tersebut. Ya sudahlah.....
Kemudian muncul ide dari Dian,“Eh kita photobox yuk?”
“Ayooook!”, jawab gue dan Dyah dengan sumringah.
Gue yang pergi ke tempat semacam Botani cuma di week-end kalau bokap kepepet nyari suatu barang yang nggak ada dimana-mana, tentu aja nggak hapal setiap store yang ada di sana. Ditambah Dian dan Dyah yang juga kebingungan nyari tempat photobox tersebut, kami langsung muter-muter naik turun eskalator nyari tuh tempat.
Kemudian Dian kembali bersuara,“Eh kita berhenti dulu yuk! Liat-liat dari sini aja kan kita udah di atas.”
Oke dengan bertampang absurd gue nurutin kata Dian dan hal terabsurd pun terjadi.
“Halo, iya iya pak! Saya udah di Bogor nih”, terdengar suara laki-laki yang sedang telpon di belakang gue.
Gue yang orangnya 150% cuek, nggak ngehiaruin suara laki-laki yang kok lama-lama makin mendekat ke samping kanan gue. Gue pun sedikit memalingkan wajah dengan lirikan mata ‘apa lo?!’. Laki-laki yang masih sedang berbicara di telepon itu pun sedikit menghindar.
Enggak lama laki-laki itu tiba-tiba udah di samping gue lagi. Dengan ekstrim tanpa basa-basi dia langsung nodongin pisau ke leher gue eh...... enggak..
Yah sebenernya ekstrim juga sih, di tangannya ada kamera digital silver, yakin dan tanpa malu-malu dia nanya ke kita, “Mau difoto nggak?” Dengan muka entah so’ imut, so’ manis dan perpaduan so’ cool yang kalo sekarang gue inget mendadak jadi eneug, dia langsung siap-siap menyalakan kameranya.
‘What! Hello elo mau foto-foto gue, sorry ya elo tuh siapa dari majalah atau redaksi mana? Berani bayar berapa!’
Ah! Tapi kenyataannya nggak seabsurd pikiran gue, yah...kita cuma anak sekolahan biasa yang lagi cuci mata plus ngadem di mall gede gini. Jadi kalo ada yang mau minta foto kita yaa sesuatu banget, sesuatu yang abnormal, aneh dan absurd maksud gue.
Setelah mendengar pertanyaan dari mas-mas berstelan jaket dan celana denim abu-abu itu gue bertiga cuma saling bertatapan, kemudian hening.
“Eh mau nggak nih di foto?”, tanya si mas-mas itu lagi.
Hening
“Oh iya ini SMP, SMA atau kuliah?”, tanya si mas-mas yang makin bego aja.
Kita kan pake seragam, yaa kali kuliah -.-, oke bukan ini masalahnya. Masalahnya yang masih gue bingungin sampai sekarang kenapa dari kita bertiga nggak ada yang berinisiatif untuk pergi, sementara gue yang posisinya paling deket sama tuh mas-mas akhirnya terdesak untuk menjadi narasumber dari pertanyaannya.
“Eh di tanya kok diem aja?”, sergah tuh mas-mas.
“SMA”, akhirnya gue membuka mulut tanpa menatap ke arahnya.
Oh tidaaak, gue melakukan kesalahan ‘jangan bicara pada orang asing’.
“Oh SMA, kenalan dulu dong!”, kemudian dia mengulurkan tangannya.
Tanpa sadar gue menjabat tangan tuh orang. Bego! Kesalahan kedua pun gue lakuin ‘jangan kontak fisik dengan orang asing’.
“Reza”, sahutnya memperkenalkan diri.
Reza? Dia bukan Reza Pahlevi atau Reza Dwi Anugrah temen SD gue, bukan Riza adik gue, bukan Reza Maulana kembaran Iqbal Maulana, apalagi Reza Maulidia pacarnya Taufiq dan jelas-jelas bukan Reza Rahardian yang artis itu. Dia jelas-jelas orang asing, kenapa gue malah kenalan sama dia-.-?
Kedua temen di sisi kanan gue pun nggak ada yang membuka mulut atau berinisiatif untuk pergi ninggalin nih mas-mas, atau jangan-jangan kedua temen gue ini naksir lagi? Gue jadi curiga setelah mas-mas di electronic city & di tempat photobox mereka bilang ganteng. -....-
“Amal”, jawab gue lirih karena ragu untuk ngasih tau nama gue, sampai akhirnya dia tau nama gue karena bodohnya gue mengulang nama gue 2 kali.
“Eh yang lain siapa? Gue Reza yaaa hai hai gue Reza”, si mas-mas mencoba memperkenalkan pada temen gue.
Tetap hening.
“Jadi nggak nih di foto, tolong dong minta fotonya?”
“Eh emang masnya darimana?”, tanya gue bermaksud ingin tau niat dia memfoto kita dalam rangka apa dan atas nama apa.
“Eeem Depok”, jawab dia dengan sedikit berpikir.
“Ngapain?”
“Haah...”
“Iya ngapain foto-foto?”, tanya gue bego.
“Iya ini buat studi kampus”.
Hening.
What? Studi kampus? Ke mall? Enak yaaaa kuliah zaman sekarang?
Tanpa pikir panjang gue bergegas mengakhiri percakapan dan perkenalan absurd itu. “Eh mas, euum duluan yaaa!”, gue langsung setengah berlari dengan menarik tangan kedua temen gue yang sedari tadi membatu.
“Eh gila lo berdua! Diem aja daritadi, curiga gue sama itu orang!”
Kemudian terjadilah perdebatan antara siapa yang salah dan mengenai penilaian akan si Reza itu. Di sela kericuhan kita, gue nggak sengaja akhirnya nemuin tempat photobox yang di cari-cari. Setelah beberapa saat kita sudah keluar dari box photo.
Hampir 15 menit kita menunggu tapi hasil cetakannya belum selesai juga, sampai akhirnya si mas-mas yang ganteng menurut temen gue menggantikan si mba-mba jutek yang sedang ribet ngitungin uang.
“Eh udah selesai yaa?”, tanyanya dengan ramah dan ala-ala anak gaul Bogor-__-“
“Daritadi mas”, jawab gue kesal.
Sambil menunggu hasil cetakan foto dirapikan, tidak sengaja Dyah melihat si laki-laki absurd tadi, “Mal..Mal cowok yang tadi ke sini!”, seru Dyah panik.
“Ah demi apa lo?”
“Eh engga deh dia balik arah”
Cukup ngeri juga gue, setelah kenalan terus sekarang main kucing-kucingan di mall kayak gini sama cowok absurd bin aneh kayak gitu lagi.
Gue yang duduk berlawanan arah dengan arah datangnya cowok absurd itu, mengira kalo dia sudah tidak ada. Sampai akhirnya kita keluar dari store photobox itu, ternyata tuh cowok lagi berdiri menyender di tembok sambil memainkan Hpnya tidak jauh dari tempat photobox.
Kami yang mulai merasa tidak enak segera buru-buru keluar dari mall tersebut. Dengan memilih jalan yang cukup memutar dari pintu utama.
Muncul pikiran-pikiran absurd dari yang positif sampai yang negatif:
A: “Ah mungkin dia emang buat tugas kuliah”.
Dy: “Jangan-jangan dia kakek-kakek pedofil yang jadi muda”.(pendapat terabsurd)
Di: “Dia Cuma pengen kenalan aja kali, tapi kok maksa foto ya?”
Dy: “Eh siapa tau dia wartawan jurnalistik gitu”.
A: “Oh gua tau dia baru beli kamera aja, jadi cari objek foto aja”.(asumsi terbego)
Di: “Apa dia penculik? Inget nggak ada bapak-bapak ngeliatin kita pas di eskalator”.
Dy: “Jangan-jangan dia germo?”
Di: “Astagfirullah”
A: “Jangan bapak-bapak di eskalator bos nya”.
Di: “Iya terus kita kenalan, kita di ajak keluar terus di luar udah ada mobil terus di culik”.
A: “Eh paraaaah ih, udah astgfirullah”.
Reza mas-mas yang mengaku asal Depok itu memang tidak terlalu tua untuk dikatakan om-om namun sudah terlalu tua untuk dianggap teman sepermainan kita. Dengan penampilan yang cukup pantas dianggap Mahasiswa entah apa niatnya, gue pun nggak ngerti maksud dan tujuannnya, semoga jadi pelajaran berharga-______-'
Inilah kami dengan pose absurd yang selamat dari mas-mas absurd (y)
0 komentar