Nekat dan Asal = Normal, Abnormal, Idiot

1/06/2013 06:13:00 PM



Sore Bogor, ditemani rintik sejuk dengan suhu 21o c, adzan ashar berkumandang 15.43.  Menghitung mundur ke hari Senin, ke semester baru, ke hari-hari terakhir memakai baju kebeanggaan ‘putih abu-abu’.  Ya! Liburan semester ini sudah usai.

-***-
Dengan rencana awal yang mendesak, seperti biasa gue and the gang; Selvi, Aul, Nasdia kali ini kembali bermain-main bersama, dengan cara yang sama.  Kenapa mendesak? Karena hari itu H-3 masuk sekolah, Kamis, 3 Januari 2013.  Gue yang semalam sebelum hari itu pun masih dalam perjalanan menuju Bogor dari trip bersama keluarga *tsaaaah*, Aul yang bagaikan kembali ke zaman jahiliyah karena tidak bisa dihubungi, Nadia yang sibuk dengan pertemanan dan persaudaraan yang begitu luas dan Selvi yang kerjaannya selama liburan hanya berenang, kita berempat akhirnya pergi dengan bermodal nekat dan menggembel ria hahahaha ya kita cap cuss ke Monas.

“Monas? Ngapain kamu ke sana? Anak SMA mainnya ke monas, itu mah buat anak SD”, komentar bokap gue saat gue meminta izin untuk  pergi esok hari, padahal saat itu masih di Tol Jagorawi menuju Bogor. 

Sedikit pesan-pesan jangan ngaret dari Selvi dan percakapan random dengan ‘dia’ mengantar gue ke tidur lelap ketika gue telah bertemu kasur tercinta.  Ya pengantar tersebut berhasil membuat gue bangun kesiangan karena setelah Shubuh gue tidur kembali hahahaha betapa tercintanya teman-teman gue tersebut yang tak pernah marah sejak zaman SMP jika gue telat. J

Kami menuju Monas dengan kereta commuter line yang nyaman namun tarif tiketnya cukup tidak membuat nyaman gue bahkan kita yang kere receh-receh seperti ini.  Tentu saja kami bermodal nekat karena kami pun tak tahu harus turun di stasiun mana-_- hehehehe.  Setelah info asal dari teman Selvi, kami turun dengan asal(juga) di stasiun Juanda.  Kami pun mengikuti Selvi kembali karena rencana hari itu memang dicanangkan oleh saudari Selvi, dengan petunjuk(asal) Selvi kami berjalan kaki menuju Monas yang menurutnya dekat.  Setelah 10 menit berjalan muncul gerutu-gerutu mulai dari Nadia, kemudian gue yang belum sarapan (seperti biasa) yang akhirnya cukup kesal dan rasanya ingin meledak ‘Hell ya!? Ini bukan Bogor bre?! Yang elu bisa jalan-jalan santai sambil nafas dengan udara sejuk di bawah rerimbunan pohon kayak di jalan A. Yani, terus tiba-tiba gerimis-gerimis unyu yang membuat perjalanan semakin indah nan imut. Dan kalau mau nyebrang elo bisa nyetop mobil sambil nunjukin lima jari elo dan tinggal lari-lari kecil dimana saja.  Ini Jakarta kawan!!’

Akhirnya aksi nekat dan asal si Selvi semakin menjadi-jadi ketika berniat nyebrang di sebuah persimpangan tanpa zebra cross. HAHAHAHA gue nggak mau mati konyol dengan headline ‘Keempat Pelajar, eh ralat tiga sepertinya karena yang satu berwajah tua dan pada dompetnya tidak ditemukan kartu pelajar mungkin kartu pelajaranya hilang atau.....’ itu gue maksudnya dan oke gue ngelantur-_-

Perjalanan untuk menyebrang jalan pun terasa berputar-putar karena harus mencari zebra cross karena gue terdaftar sebagai WNI  dengan klasifikasi baik walaupun tidak ada sertifikat yang mengakuinya.   Nadia kembali mengeluh karena doi dari awal berkeinginan naik bajaj namun Selvi selalu menjawab, “Ih jangan nanti kita dibawa muter-muter tau!  Nanti bayarnya mahal”. 

“Berapa sih gak sampe 20 ribu kan?”, Nadia kembali bertanya.
 “Jangan Nadia nanti kita disasarin, Nad!”, Selvi kembali sewot.“Woy! Suudzon mulu lo sama tukang bajaj”, akhirnya gue buka suara yang mengakhiri percakapan bajaj-bajaj-an tersebut.  Maaf ya abang-abang bajaj wkwkwkwk.  Dan Aul selalu tersenyum, mesem, cengar-cengir dan sejenisnya.

Setelah kaki gue setengah pengkor akhirnya kami menemukan pintu masuk.  Menyisakan perdebatan dan kesewotan karena jalan yang cukup jauh di bawah terik ibu kota tersebut, kami masih di dalam kondisi perdebatan saat bertanya-tanya selanjutnya apa yang akan kita lakukan di sini.  Nadia yang kelaperannya sepertinya lebih dari gue yang belum sarapan, memutuskan untuk makan dahulu. Namun apalah daya kami tidak menemukan tukang makanan yang wajar disebut makanan untuk makan siang hahahaha .  Kami kembali di posisi bingung, yaitu berdiri mematung sunyi tak tahu apa yang akan dilakukan.

Dengan bermodal wajah sotoy, gue mengajak untuk menuju bangunan monas dengan memasuki jalan *apa ya namanya* semacam terowongan bawah tanah, ya pasti taulah bagi elo-elo yang sudah pernah ke Monas.  Dan bagi gue yang sudah 5 kali ke Monas pun tetap bermodal sotoy.  Sebelum ke loket tiket kami menemukan warung yang menjual makanan yang layak untuk makan siang, akhirnya.. thanks God! Hahahaha.  Saat di loket tertera tarif bagi pelajar 2 ribu, mahasiswa 3 ribu dan umum 5 ribu. Dan hell yaaaa mereka sang penjaga loket tidak percaya kalau gue pelajar, sudah kuduga, inilah kejamnya dunia.  Dengan sedikit bacotan akhirnya gue dihargai 2 ribu eh maksudnya tiket masuk untuk gue. 

Sesampainya di bangunan menjulang tersebut yang—dahulu kala—menjadi ­simbol kebanggan kota Jakarta, kami memutuskan makan siang seadanya.  Setelah itu menuju ruang museum, yang ternyata malah ramai digunakan untuk berleha-leha bahkan ada yang tidur siang di tengah-tengah ruangan ber-AC tersebut, wajah Indonesia....  Gue? Gue lebih memilih segera mencomot kamera profesional milik Aul daripada melihat-lihat miniatur yang di bawahnya tertera penjelasan panjang mengenai sejarah Indonesia.  Bukan tidak berperilaku intelejensi, gue hanya berpikir sejarah Indonesia masih tetap sama kan? Percuma gue membaca dan mendalaminya kembali hahahaha

Ini foto dari kamera profesional Aul, namun fotografernya tidak profesional: 
Abnormal

normal
Nadia-Selvi-Aul







Normal enggak?

Setengah Normal dan gue abnormal

Pilih no 5! untuk Jakarta tanpa banjir!!
Kemudian kami keluar dari ruangan dan menemui teriknya Jakarta yang pada siang itu ternyata sudah tertutup awan-awan gelap.  Syukurlah... foto-foto normal, abnormal dan idiot akhirnya dilanjutkan di halaman sekitar bangunan itu.  


Gue abnormal dengan sok kece B) -Aul-Nadia






Abnormal sih, tapi kece kan? Gue gitu :) 












Keidiotan dimulai :
Diawali Selvi


Lalu gue ikutan



Kemudian Aul bergabung



pas sama Nadia FAIL......



Tiba-tiba....oke ini bukan klimaks cerpen yang sedang dinantikan konfliknya, tiba-tiba beberapa mobil satpol PP berdatangan berteriak-teriak melalui toa—pengeras suara—mobil mereka.  Otomatis para PKL pontang-panting, tetapi tetap saja ada yang asik melayani pembeli. Ternyata satpol PP meneriaki para kusir yang mengendarai delman(iya lah, ga efektif nih kalimat), menyuruh pergi delman-delman tersebut dari pekarangan Monas.  Saat gue sedang duduk terpana—melihat  salah satu kejadian kerasnya kehidupan—di pinggir separator sambil memegang payung—karena saat itu gerimis turun—ada salah seorang anggota satpol PP yang melotot galak ke arah gue sambil meneriaki sesuatu yang suaranya tak sampai di telinga gue dan gerak bibirnya tak terlihat oleh mata rabun gue.  Kontan ada beberapa mata pengunjung yang tertuju pada gue, dan gue langsung bergidik lari mendekati ketiga teman gue.  Apa yang kalian pikir? Gue? Dianggap PKL atau ojek payung? Enggak sob, ternyata dibelakang tempat gue ada PKL pedagang kaos-kaos oblong yang sepertinya tatapan galak anggota satpol PP tersebut untuk dia, syukurlah...




Amit kan? wkwkwkw
“Enggaklah masa ojek payung bawa tas, pake sepatu, rapi kayak elu Mal”, Aul angkat bicara membesarkan hati gue hehehehe. Mungkin dalam hati si Aul kalimat itu dilanjukan,’walaupun muka udah mendukung sih Mal....’L

Hujan kota Jakarta ternyata labil juga mulai dari gerimis, reda, kemudian deras.  Berhubung kamera Aul juga sudah lowbat, kami memutuskan menyudahi jalan-jalan hari itu.  Walaupun jam baru menunjukan pukul 2, sok-sok(lagi) gue mengajak naik kereta pengunjung menuju parkiran pengunjung yang menurut asumsi gue akan dekat dengan pintu keluar dan halte Busway.  Karena kami berniat mencoba naik Busway.  Mencoba? Yaah namanya juga jalan-jalan nekat dan asal.  Namun rencana itu urung kami lakukan karena kami ­stuck dan sedikit nyasar.  Kami pun pasrah mengikuti langkah *halah*...

Lagi-lagi ada lelaki random mendekati, terlalu sering gue mengalami kejadian mistis kayak gitu.  Kenapa mistis? Karena dari semua kejadia nggak ada laki-laki yang kece dengan niat kece pula hahaha.  Gue belum sempat membatin seperti itu, gue terlalu berlebihan... termyata orang tersebut bermaksud menanyakan alamat, gedung Kementrian Perdagangan.  Ngah?! Kita pulang aja tak tahu arah begini Mas... yang gue tahu sebagai WNI Cuma letak pasti Kementrian Pertanian hehehe karena you know lah...

Kaki kami yang gontai mungkin hampir full pengkor patah-patah ini, terus dipaksa hampir mengelilingi seputaran halaman Monas dari balik pagar luar.  Percaya? Yaa.. enggak segitu juga sih hehehe sampai muncul satu tujan yang jelas.  “Aha!! Udah lah kita naik bajaj aja ke stasiun Juanda lagi”, wkwkwkw stupid!!

Kami pun dengan setengah hati menuju jalan pulang, karena rasanya hari masih panjang.  Terlintas sebuah ide untuk turun di Depok.  Kemudian Aul, Selvi dan gue ayo-ayo aja, karena kami belum puas main tapi sebenernya menurut gue karena kami memang tipe orang yang prinsipnya ‘terserah’ hahaha Tidak dengan Nadia, dia bersikeras tidak mau ikut dengan alasan yang jelas, dia bilang sih capek.  Mungkin karena dia akan kopi darat dengan seorang cowok kece anak IPB yang katanya kakak kelasnya—ups apakah gue frontal? Hehehe—Nadia pun meneruskan naik kereta ke Bogor.  Gue bertiga pun turun di Pondok Cina. 

Di Pondok Cina ngapain? Jangan tanyakan itu.  Kami sekedar ke Detos makan Mie Aceh, numpang Sholat, jalan-jalan liat ada baju kece beli.  Dan sialnya, ada sepatu yang gue incer dari di Bandung tapi nggak ada nomor yang buat kaki gue, dan di toko yang sama beda tempat itu didisplaynya malah nomor buat kaki gue tapi gue enggak bawa duit hiks.  Kartu ATM ada tapi gue nggak tega ngeluarin isinya(lagi dan lagi) tanpa pernah gue isi kembali... 

Seperti yang gue bilang di awal ‘kami yang kere receh-receh’, sebenernya itu majas ironi *ngok.  Karena merasa sudah kere beneran, kami memilih membeli tiket kereta ekonomi, 2 ribu rupiah, wow!? -______- tapi datangnya jam 6 dan saat itu masih jam 5 kurang.  Kami pun berceloteh ria di pinggir peron duduk mepet-mepet, karena ada mbak-mbak bergaya preman yang nyebelin naruh barangnya di kursi di samping dia duduk. Tidak terasa adzan maghrib berkumandang, langit menghitam dan sudah gelap saja saat sebuah kereta berjejal manusia tak layak yang dinamakan kereta ekonomi tiba. Inikah sebuah jasa transportasi negeri ini? Hati nurani gue bertanya-tanya hahahaha

“Woy?!”, mbak-mbak preman bersuara menyapa seorang temannya yang sedang asik di atas gerbong-___-.“Sini lo naek? Mau kemana lo? Di belakang noh masih kosong”, jawab salah satu orang sakti Indonesia yang nyawanya banyak karena memilih menikmati perjalanan dengan full sepoi-sepoi di atas gerbong.

Nenek lo kosong.  Kalau kosong juga ngapain elo naik di atas situ? Ngah? Situ kira kece gitu ada di atas, mau sekalian gelantungan di kawat-kawat listrik?-___-

Gue rasanya miris tapi mau ngakak-ngakak melihat perkerataan Indonesia masih gitu aja. HAHAHAHA Mau protes? Yah inilah pandangan miris, sinis dan pesimis gue.  Tapi ini lucu potret negeri yang sesungguhnya membuat gue semakin cinta *eh hahaha-____-

Kami agak kaget dan nggak mungkin memaksakan diri untuk naik dan akhirnya pasrah memilih beli tiket commuter line, setelah selesai Sholat maghrib, seperti mendapat hidayah kami tidak bergegas membeli tiket.  Puji Syukur, Alhamdulillah kereta ekonomi yang lebih layak dan lebih lengang maksudnya tiba.  Aaah.. akhirnya kami bisa pulang dengan selamat dengan kereta ekonomi.... Yeah!














@amalinair












You Might Also Like

0 komentar

Cari Blog Ini